Senin, 30 Desember 2013

BENANG KUSUT DI ATAS SAJADAH

Segumpal awan tampak membumbung diatas danau. Mendung, pertanda air akan menari dengan irama rintikan hujan. Jika menoleh kearah timur maka akan terlihat sebuah rel kereta api membentang jauh mengawal danau dengan setia. Didampingi oleh kasih sayang sebuah jalan berdebu.
Diatas rel itu terbujur seorang insan dengan pakaian yang lusuh dan kumal, duduk dengan kaki direbahkan menghadap danau. Tangan sebelah kirinya terus menggenggam sebuah benda, sedangkan tangan kanannya terus melempari danau dengan kerikil-kerikil kecil.
Sudah beberapa hari ini aku melihatnya direl itu. Semua orang yang lewat berpikiran yang sama dengan yang lain “dia gila,” itulah yang terbesit di pikiran mereka.
Aku terus memperhatikan gadis itu dari tempat dudukku. Ditemani sebuah radio kecil, aku merapikan jaring-jaring yang kusut.

Jarum jam menunjukkan waktu 12:45. Ku angkat badan yang sudah mulai penat ini menuju sebuah Mushola kecil tak jauh dari tempatku berada. Ketika ku berdiri, kembali kepalaku tergerak sendiri kearah gadis di rel kereta itu, entah siapa yang menggerakkannya aku tak tahu. Ku lihat gadis itu masih asik melempari danau dengan kerikil-kerikil kecil.
 
Benang Kusut di Atas Sajadah - Cerpen Romantis
Jauh di belakang gadis kecil itu, tampak oleh ku sebongkah baja berjalan dengan angkuhnya. “Kereta api” darahku berdesir, peluh dingin mulai bercucuran.
“Awas, kereta apiii!!!.” Teriakku dengan sangat keras sambil menunjuk kebelakangnya.
Tetapi dia hanya terdiam, ia tolehkan sebentar wajahnya kearah kereta api meluncur, kemudian kembali ia lempari danau dengan kerikil-kerikil kecil. Seolah-olah kereta api akan takut kepadanya dan menghindar dengan sendiri.

Detak jantungku semakin kencang, badanku mulai basah akan keringat dingin yang terus mengucur di tubuh. “Tuuuttttthhhh” tak henti-hentinya pluit itu berbunyi, namun gadis itu seakan tak mengundang cemas dalam hatinya. Atau dia sengaja akan mengakhiri hidupnya? tanyaku dalam hati. Aku tak punya pilihan lain, aku harus menyelamatkanya, entah wahyu apa yang diturunkan oleh Tuhan, aku tak tahu dan tak ingin tahu. Yang penting tak ikhlas mata ini melihat seorang gadis diterjang oleh kereta api yang angkuh itu.
Ku berlari sekencang mungkin, sekencang yang aku bisa. Kalaupun bisa, aku ingin terbang secepat kilat, menyambarnya bagaikan elang memangsa seekor ayam.

Jarakku dengan gadis itu sabaleh duo baleh dengan kereta api yang terus meluncur. Batu-batu kecil beterbangan oleh kakiku yang terus berputar seirama. Pluit kereta terus memberikan isarat, seolah tak ingin mengalah denganku untuk merebut gadis itu. Jarakku dengannya semakin dekat, beruntung aku lebih dekat dibandingkan kereta yang berada berlawanan denganku.
Dengan cepat kuraih tangan gadis itu, dan kutarik ia keluar dari rel kereta. “Selamat” ujarku dengan nafas terengah-engah. Sialnya kakiku malah terpleset dari tepi rel, tanpa sengaja kami terjatuh kedalam suatu sawah yang masih berlumpur dengan posisi yang tidak mengenakkan “berpelukan”.
Dia lepaskan badannya dari tubuhku, kemudian ia berdiri meninggalkanku yang masih terbujur kaku dengan penuh lumpur. Tak ada sepatah katapun yang terucap dari gadis itu, hanya raut wajah yang tak bersahabat dia tinggalkan kepadaku sebagai bingkisan terima kasih telah meyelamatkannya.

Aku hanya bisa tersenyum sebelah bibir melihat kelakuannya, dengan tenaga yang masih tersisa ku angkat badan ini yang penuh dengan lumpur.
“Hujan!” ya, hanya hujanlah yang turut menemaniku disini, sedangkan gadis itu kulihat berjalan menyusuri panjangnya rel kereta sambil diterpa oleh rintikan hujan. Kubiarkan lumpur ini meleleh dikalahkan oleh sapuan hujan, sambil terus kulihat gadis itu yang semakin lama semakin kecil, jauh dan akhirnya lenyap ditelan gelapnya hujan.
***

Oh ya, namaku Ikfar, anak kedua dari tiga bersaudara. Abangku adalah sosok yang sangat kuat dan selalu melindungiku, tanpa dia aku tak akan mampu bertahan oleh kejamnya dunia. Namanya Matahari, benda bulat raksasa yang selalu bersinar di angkasa dengan gagah berani.
Kemudian adikku adalah benda indah yang selalu memikat hati ini, tanpa dia dunia ini terasa hampa bagiku, tapi belum tentu bagimu! dialah Bulan.
Kemudian kalian akan bertanya siapakah ayah dan ibuku? Ayahku adalah sosok yang selalu menjagaku dengan cinta dan kasih sayang, dia perisai kehidupanku selamanya, dialah Langit, atap bagiku dan bagi dunia ini.
Lalu ibuku adalah tempat dimana aku selalu dalam pelukan dan kasih sayang, tempat dimana aku menumpahkan segala cinta dan duka. Tempat dimana aku akan tertidur untuk selamanya. Dialah Bumi, tempat aku hidup dan mati kelak.

Mungkin terdengar sangat aneh keluargaku itu, tapi itulah keluargaku, keluarga yang selalu harmonis dalam setiap detik waktu ini. Tanpa ada pertengkaran, dan carut marut kehidupan. Dan mungkin, anda juga berfikir bahwa aku adalah penulis yang telalu berlebihan, tidak!!! Aku menceritakan apa adanya, karena aku bukanlah pengecut yang selalu berlindung dibawah ketiak kekuasaan nepotisme.
Dan jika anda terus bertanya dengan ngotot dan menyudutkan ku, seperti seorang jaksa penuntut umum. Aku akan angkat tangan, semuanya karena aku adalah pemimpi tanpa tujuan, pengembara tanpa arah, dan penyanyi tanpa lagu, bukan begitu!!! Tapi karena aku adalah pecundang teman, atau lebih sopan anda sebut pengalah.
Aku lari dari rumah, karena aku tak sanggup untuk bertahan dalam kecamuk keluarga yang selalu mementingkan egonya masing-masing. Tanpa ada didalamnya kasih sayang dan cinta.
Hingga aku lari ke danau ini, untuk mencari sebuah mimpi, sebuah keluarga, bukan sebuah, tapi semua, semua yang aku anggap bahagia dan hidup.
***

Daun kamboja yang kering jatuh dari dahannya. Daun kering itu menimpa pundakku yang sedang bersimpuh di tepi danau. Senja sudah berlalu. Bola raksasa berwarna jingga itu menggelincir masuk ke batas cakrawala. Beberapa turis yang beruntung menyaksikan peristiwa ajaib itu berdecak kagum.

Sebuah mobil sedan hitam berhenti tepat di depanku, kulihat seorang pemuda bertubuh kekar keluar dari dalamnya.
“ Mau apa lagi” ujarku tanpa berdiri untuk menghormati kedatangannya.
“ Bapak memintamu untuk pulang, dia sekarang tengah sakit.”
“ Pulanglah, katakan padanya bahwa aku tidak mengenalnya lagi”
“ Tapi dia ayah mu, dia sangat membutuhkanmu” ujar pemuda itu
“ Pulanglah, ini peringatanku yang terakhir, aku tak ingin ada pertumpahan darah di sini”

Sahutku dengan mulai emosi.
Sedan hitam itupun melaju dengan ganasnya, meninggalkan deru yang sangat angkuh tak berperi ditelingaku.
Sudah beberapa hari ini banyak orang asing menyuruhku pulang, tapi tak sedikitpun hati ini bergerak untuk pulang. Luka yang membakar bertahun-tahun sekarang telah berkarat di hati ini, menyebabkan aku memendam dendam. Kepada seseorang yang seharusnya aku kagumi. Ayahku sendiri.

Tiupan angin dingin merasuk kedalam tulangku, menggetarkan kalbu yang sedang berkecamuk dengan imajinasinya. Akupun sontak berdiri tegak akan dinginnya, kutatap langit mulai menggelap, bintang kecil sudah bertaburan. Dan kulangkahkan kaki menyusururi jalanan bersama dendam yang aku kandung.
“Awasssssss !!!” pekik seseorang dari belakangku, kurasakan tanganku tertarik kesamping, dan sebuah mobil melaju dengan kencangnya di sampingku.
“Dasar bodoh, kalau mau bunuh diri jangan disini” seorang gadis memarahiku, dan kulihat jemarinya masih tercengkram erat di tanganku.
“Maaf, tadi lagi ngelamun, jadi tidak sadar kalau sudah ditengah jalan” jawabku dengan jantung berdetak cepat.
“Melamun kok ditengah jalan”
“Perasaan aku pernah melihatmu, tapi dimana ya?”
“Aku gadis yang pernah kau selamatkan di rel kereta api dulu, sekarang aku tidak memiliki hutang budi lagi padamu” jawabnya sambil berjalan meninggalkanku.
“Siapa namamu?” teriakku kepadanya. Dia berhenti sebentar, dan dengan perlahan membalikkan kepalanya ke arahku.
“Kinara” ujarnya singkat, dan kembali berjalan menjauh, dan hilang.
***

Siang menerik membakar pusaran kepala. Sedetik, lalu hujan. Garis-garis turun menancapi tanah, memukul lantak butir benih. Aku bersimpuh di depan jaring-jaring yang kusut, berharap bisa mengurainya menjadi lurus.
Kinara, gadis itu kembali membuatku melamun, bahkan mendatangi mimpiku setiap malam tanpa ku undang. Garis-garis hujan mulai meneduh, mungkin dia kasihan kepada tanah yang selalu ditancapinya.

Kulihat ada seorang gadis mondar-mandir ditepi jalan, sepertinya dia sedang mencari sesuatu
“ Lagi cari ini ya?” teriakku sambil berdiri dan mengeluarkan sebuah kalung. Dia berhenti dan mendatangiku
“Kapan kau curi dari ku?”
“Siapa yang nyuri, aku menemukannya kemarin”
“Terima kasih” ujarnya sambil mengambil kalung itu dariku
“Sebegitu pentingkah benda itu untukmu?”
“Sepenting roh dalam jasadmu”
“Tapi aku tak menginginkan rohku bersatu dalam jasad ini”
“Karena kamu tidak memahami arti hidup yang sebenarnya”
“Bukankah itu kamu? Apakah hidup yang sebenarnya mengakhiri hidup direl kereta api?”
“Jangan ungkit itu lagi, itu masa laluku”
“Maaf, siapa yang memberikannya padamu?” kembali aku bertanya, dia diam sejenak, sambil menatap jauh kedalam mataku, seakan menaruh rasa curiga.
“Ayah dan Ibuku, tapi mereka sekarang telah tiada, mereka semua meninggal ketika kecelakaan 2 tahun yang lalu termasuk saudaraku. Aku sangat merindukan mereka” ujarnya pilu.

Aku tertegun mendengarnya, Sontak akupun teringat dengan ayah.
“Maaf, aku telah mengungkit kesedihanmu”
“Tidak apa, terkadang kita berkeluh kesah ketika mendung datang, Tuhan mengirimkan badai, petir, dan hujan lebat. Tapi pernahkah kita sadar bahwa Tuhan telah menyimpan sebuah keindahan jika kita kuat menghadapi semua itu? Tuhan mengirimkan pelangi jika kita berhasil”
“Memang benar” sahutku sambil menunduk, tapi kapan Tuhan mengirimkan pelangi untuk ku? bisikku dalam hati.
“Oh iya, siapa namamu?”
“Ikfar” ujarku sambil menyodorkan tangan
“Nama yang bagus, rumahmu dimana?” jawabnya sambil menjabat tanganku.

Pertanyaannya sontak membuatku lenyap dalam kecamuk hati. Rumah? Dimana rumahku? Kenapa kau tanyakan itu Kinara? Kau membuatku gila.
“Aku tinggal di Mushola, menjadi seorang Gharim”
“Rumah yang indah dan mulia, bagaimana dengan keluargamu?” pertanyaannya kembali membuatku pusing dan muak.
“Haruskah kuceritakan padamu?”
“Wajib, karena aku telah menceritakan keluargaku padamu”
“Aku lari dari rumah, karena mereka tidak menginginkanku lagi”
“Tapi aku sering melihatmu disuruh oleh seseorang untuk pulang”
“Dia menyuruhku pulang karena sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi”
“Maafkan aku, tapi kuharap kamu segera pulang dan menemuinya, mungkin dia telah berubah”
“Aku tidak bisa” jawabku

Kemudian kami sama-sama hening beberapa saat.
“Aku pamit dulu, senang berkenalan denganmu, jika ada waktu luang mainlah kerumahku, tidak jauh dari sini” Ucapnya sambil berdiri
“Dimana?” Tanyaku
“Panti Asuhan Al-Azhar” jawabnya, kemudian dia berjalan dengan sedikit bergegas meninggalkanku. Anak yang kuat, tidak seperti aku, ujarku dalam hati.
***

Terus berjalan dan berlari. Mengoleksi segala yang ditemui. Menggurat ketenangan, menggores sejarah, berteriak pada penjuru angkasa. Aku punya impian!
Siang kembali membahana, ku langkahkan kaki menghilangkan penat, setelah membersihkan Mushola sejak dari pagi. Kakiku terus menjelajahi jalan berdebu, menyusuri setiap jejak kehidupan. Ingin rasanya kuhapus setiap jejakku dimuka bumi, agar tak ada yang mengenaliku, dan mengikutiku. Ku hirup udara berdebu, seolah-olah indah dalam paru-paru.

Langkahku kemudian terhenti di depan sebuah bangunan, ku eja setiap hurufnya menjadi sebua kata, dan kugabungkan kata itu menjadi sebuah kalimat “Panti Asuhan AL-Azhar”.
“Hai” Seru seseorang sambil melambaikan tangannya dari dalam ke arahku. Akupun berjalan mendekatinya
“Silahkan duduk!” kata Kinara padaku.
“Terima kasih” ujarku, sambil memandang setiap inci ruangan.
“Bagaimana menurutmu?”
“Sangat menentramkan hati”
“Disinilah aku menemukan arti sebuah kehidupan 2 tahun lalu”

Aku hanya bisa termenung mendengar tuturannya, kulihat beberapa anak kecil sedang bermain dengan penuh canda tawa dan kegembiraan. Inikah yang kucari? Sebuah kedamaian dan ketentraman?
“Apakah kamu sudah menemui ayahmu” Tanya Kinara, yang membuyarkanku dari lamunan.
“Belum” ujarku singkat
“Mau sampai kapan kamu terus begini?”
“Entahlah, mungkin sampai dendam yang aku kandung ini gugur”
“Bukankah dendam itu dilarang agama? Apalagi dengan seorang ayah sendiri”
“Benar, tapi aku tidak bisa”

Kembali suasana menjadi hening, kami kembali sibuk dengan lamunan masing-masing.
“Aku pamit dulu” ujarku sambil berdiri
“Terima kasih sudah mau datang kesini” jawabnya
Kemudian aku berjalan menyusuri jalan menuju Mushola.
***

Jeritan jangkrik menemani malamku, kembali aku teringat dengan gadis itu, Kinara. Begitu kuatnya dia hingga bisa bertahan dengan keadaannya. Sedangkan aku? Seseorang yang hanya lebih mementingkan dendam. Betapa bodohnya aku Tuhan, terhadap ayahku sendiri aku masih menaruh dendam.
Aku rasa aku harus bangkit, karena Tuhan telah mengirimkan Pelangi terindah untukku yang Dia selipkan dalam hati seorang Kinara.
Kinara, andai kau tahu apa yang kurasakan, betapa takjubnya telinga ini mendengar setiap tutur katamu, betapa indahnya mata ini memandang matamu, merasuk kedalam jiwa, mengakar bak benalu didalam hati, menghisap puing-puing kesedihan, kemudian kau suntikkan sebuah insulin cinta kedalamnya. Sungguh, inikah rasanya cinta?
Apakah kau juga merasakan apa yang ku rasa Kinara? Ku harap jawabnya iya, karena katamu kamu sering memperhatikan seseorang menyuruhku pulang, berarti kamu memperhatikanku dari jauh Kinara. Berarti kamu juga mencintaiku Kinara, tunggu aku Kinara, aku akan menjemputmu, aku akan membawamu ke kursi pelaminan. Aku cinta kamu, Kinara.
Dinginnya malam tak mempan menembus tulangku, seakan ada sebuah perisai yang menghalangnya, memang ironis jika seseorang jatuh cinta.
“Aku akan melamarmu Kinara, setelah ku temui ayah besok pagi” Kemudian kutarik selimutku sampai kepala, ku pejamkan mataku dan berharap bertemu Kinara dalam mimpi.
***

Bersimpuh adalah sajadah. Dan sajadah tidaklah panjang, tidak berkelok-kelok, meski kebesaran-Mu ada di dalamnya seperti ketika bersimpuh.
Kemudian kuambil sebuah kotak yang mulai kusam, kubuka perlahan, sebuah cincin pemberian ibu masih mengkilap di dalamnya. Ku tutup dan ku simpan ke dalam saku celana kananku.
Sedan hitam berdecit didepan mushola, ku langkahkan kaki keluar dan masuk kedalam mobil itu. Keputusanku untuk menemui ayah sudah bulat, aku tak ingin ada lagi dendam antara aku dan dia.
Sedan hitam ini terus membawaku menuju sebuah jalan menuju jalan, menyusuri gang demi gang, dan tepat berhenti disebuah rumah mewah yang tak asing lagi bagiku, yaitu rumah dimana aku menyimpan sebuah kenangan hitam dan gelap di dalamnya, rumahku sendiri.
Jantungku terus berdetak dengan cepat, pemuda itu membukakan pintu untukku, aku masuk kedalam rumah, kulihat setiap sudut rumah, masih ada foto kami sekeluarga terpampang di dindingnya. Tidak ada yang berubah sedikitpun sejak aku pergi dari sini.
Suara decitan pintu terbuka yang ada ketika kubuka kamar ayah. Kulihat dia terbaring lemah dengan beberapa selang infuse dan kabel-kabel ditubuhnya. Mata kami saling bertemu, dia hanya diam, akupun diam.
Rasa dendamku kembali memuncak, setan dan iblis tak henti-hentinya menghasutku, hanya kalimat astaghfirullah yang dapat kulantunkan dalam hati untuk menenangkan dendam ini.
Kemudian ayah masih tetap menatapku kosong “Siapa kamu?” tanyanya lembut

Begitu cepatkah dia melupakanku? Tentang anaknya sendiripun dia lupa. Setan dan iblis terus menghasutku dengan panas.
“Aku anak yang dulu pergi dari sini”
Ayah tetap diam melihatku
“Kau telah membesarkanku dengan caci maki”
Ayah tetap diam, namun matanya mulai sayu
“Kau telah membuang abangku”
Ayah menjadi gelisah. Badannya seakan ingin berontak.
“Kau telah memukul adik dan ibuku”

Ayahpun mulai tenang kembali, namun air matanya mulai mengalir dengan perlahan demi perlahan. Sedangkan jantungku mulai berdetak cepat, panas ditubuh mulai menguap memberontak.
“Kau telah membunuh adik dan ibuku di depan mataku” suaraku mulai sayu, dan air mataku mulai mengucur.
Kulihat ayah mengusap matanya dengan perlahan, kemudian semua menjadi hening, kami tak saling tatap lagi. Hanya suara cicak yang memecah keheningan. Kemudian kuambil sebuah kertas dan spidol dari dalam tas, dan ku tulis dengan perlahan dan sambil menahan air mata terus menetes. Kuangkat kertas yang bertuliskan “Ayah, aku memaafkanmu” tepat di depan dadaku.
Ayahpun tak mampu lagi menahan air matanya, dia biarkan air matanya terus mengalir dengan sendirinya. Dan hilanglah semua dendam yang aku kandung dalam hatiku.
Kemudian ku bersimpuh didepan ayah, kulihat dia hanya tersenyum, badannya mulai tanpa gerakan. Ku panggil-panggil namanya, namun tak sedikitpun dia sahuti panggilanku. Lalu kuletakkan tanganku tepat di denyut nadinya. Innalillahi wa innalillahi rojiun.
***

Kotak-kotak waktu harus dilalui. Bingkai dan bangkai peristiwa menanti. Terisi kapan, dimana, bagaimana, sementara, detak jarum jam berlomba dengan nadi
Angin sore makin kencang bertiup dan cuaca agak dingin. Sudah sebulan ayah meninggal, dan sekarang hanya aku sendiri yang mengurusi setiap asetnya. Ingin rasanya hati ini membantah, entah kepada siapa? dan selalu jiwa ini bertanya dimanakah abangku sekarang? Karena hanya tinggal dialah keluargaku saat ini.
Aku teringat dengan janjiku untuk melamar Kinara. Kebetulan nanti malam ada acara syukuran di Panti Asuhan Al-Azhar. Mungkin itulah waktu yang tepat untuk menjalankan niat suciku padanya.

Akupun bergegas pergi menuju Panti Asuhan Al-Azhar, kulihat telah ramai orang yang berdatangan. Acara yang diselingi tauziah oleh salah seorang ustad akhirnya selesai juga. Kulihat Kinara sedang berdiri dengan beberapa orang disampingnya. Kemudian kulangkahkan kaki dengan mengucapkan basmallah menuju kearahnya
“Ikfar? Aku kira kamu tidak akan datang” seru Kinara dan sambil tersenyum
“Kenapa tidak? Oh iya ada yang ingin aku sampaikan kepadamu” jantungku mulai berdetak cepat, kemudian ku selipkan jari-jemariku kedalam celana untuk mengambil kotak yang berisi cincin pemberian ibu dulu. Kemudian ku genggam kotak itu dibelakang badanku
“Ada hal apa Ikfar?” Tanyanya dengan menatap mataku
“Hmmmm” lidahku menjadi kelu, tak bisa aku percaya, aku menjadi bisu untuk mengatakannya.
“Kok diam? Oh iya, kenalkan ini calon suamiku”
“Calon suami?” Seketika aku mendengarkan sebuah ledakan hebat dari jantungku, kenapa begini ya Tuhan? Kenapa kau ciptakan aku hidup bukan untuk bersamanya? Hatiku menangis hebat. Kemudian kembali kuletakkan kotak berisi cincin itu kedalam saku celanaku lagi.
“Iya, dia baru saja melamarku Ikfar” jawabnya dengan tersenyum.
Kuperhatikan senyum Kinara itu, tak sadarkah dia bahwa senyumnya telah merusak hatiku? Mengobrak-abrik jiwaku? Menyayat relung hatiku?

Lalu kulihat orang yang disebutnya sebagai calon suaminya. Dia menjulurkan tangannya padaku.
“Randai” sapanya
“Ikfar” jawabku dengan suara parau
Kemudian kami berjabat tangan, darahku berhenti mengalir, keringat dingin mengucur lagi dengan derasnya. Kurasakan ada bekas goresan luka di telapak tangannya. Sama seperti bekas luka di telapak tanganku. Sehingga bekas luka itu menyatu menjadi sebuah tanda X.
Aku kembali hanyut dalam cerita lama, kembali teringat olehku ketika ayah marah besar kepadaku dan abangku ketika kami tak sengaja memecahkan kaca cermin. Kemudian ayah dengan kejamnya menggoreskan serpihan kaca itu ditelapak tangan kanan kami masing-masing. Aku menjerit kuat menahan perihnya, sedangkan abang kulihat hanya tertunduk diam.

Sebuah pelukan erat membuyarkan lamunanku
“Ternyata kamu adikku yang selama ini aku cari” kembali Randai mengencangkan pelukannya kepadaku.
“Aku merindukanmu abang” air mataku mengalir dan jatuh dibajunya Randai, sedangkan Kinara menatap kami dengan beribu tanda tanya. 

http://www.lokerseni.web.id/2013/12/benang-kusut-di-atas-sajadah-cerpen.html

Kamis, 26 Desember 2013

Arti Sebah Waktu

Arti Sebuah Waktu Alkisah ada seorang wanita yang hidup di sebuah desa terpencil, dia ingin pergi kerja ke kota agar dia bisa mengoprasi wajahnya. Kemudian dia mengutarakan keinginannya untuk kerja di kota kepada kedua orang tuanya, tapi keinginannya tersebut di tolak oleh kedua orang tuanya. Mendengar kata kedua orang tuanya yang menolak keinginannya dia pun menangis, tapi tak berapa lama kemudian ibunya datang menghampiri dia. Dan tiba-tiba ibunya bilang “Kamu boleh pergi ke kota nak”. Mendengar perkataan ibunya dia pun tersenyum. Dan pagi harinya dia bersiap-siap untuk pergi ke kota. Di tengah perjalanan yang lama dan melelahkan dia istirahat di sebuah rumah, dan dia pun membayangkan, ” andai ku bisa membangun rumah mewah dan dapat mengoprasi wajah ku yang biasa menjadi luar biasa ini.” Tiba-tiba di tengah-tengah hayalannya datang seorang nenek tua menghampirinya, dan bertanya “kenapa nak kamu tersenyum sendiri?” “Saya sedang membayangkan andaikan saja ku bisa sukses di kota dan dapat mengoprasi wajahku ini”, kata dia. Dan nenek itu mengeluarkan jam kecil dari kantongnya, kemudian nenek itu berkata “Kamu tinggal putar jam itu sesuai dengan putaran jarum jam, bila kamu ingin segera meraih cita-citamu”. “Baik nek”, kata wanita tadi. Kemudian tak berapa lama dia memutar jam tersebut sesuai dengan apa yang dikatakan nenek tadi. Dan tiba-tiba dia bisa bekerja di sebuah perusahaan ternama di Jakarta. Tapi dia tak puas dengan lamanya waktu yang di perlukan agar bisa mengoprasi wajahnya. Kemudian dia kembali memutar jam tersebut, dan wajahnya pun menjadi cantik. Lagi-lagi dia kurang puas dengan wajahnya, dan kembali dia memutar jam kecil pemberian nenek-nenek yang pernah dia temui sekali lagi. Tapi setelah memutar jamnya dia mendapati wajahnya yang semula cantik jelita menjadi tua dan keriput. Dan dia menyesal dengan keadaan dia sekarang. Kemudian dia kembali menemui nenek-nenek yang memberi dia jam di tempat di mana dia bertemu. Tapi dia tak melihat nenek tersebut karena nenek itu telah lama meninggal. Dia pun hanya bisa menyesal dan menangisi nasibnya.

http://berita-i.blogspot.com/2013/08/contoh-cerpen-singkat-lengkap.html

Rindu Merah Jambu

Otakku browsing ke masa tiga minggu lalu. Saat pertama melihatmu. Aku terkesiap, sama sekali tak menyangka  parasmu begitu rupawan. Laksana pangeran dalam impian. Dan senyumnya menaburkan gula-gula di hatiku. Aku merasa mulai terpedaya dengan rasa suka.
Di rumah kita berbagi cerita. Dan engkau menabur banyak benih kekaguman di hatiku. Saat kau shalat di rumah, desah khusyu memanggil Rab sungguh mengharu biru. Kuteriakkan dalam hatiku, ” Rab, seperti inilah lelaki pujaanku!”
Lembut matamu memandangku. Kuteriakkan padamu,” jangan menatapku  begitu, Ben. Daku malu!” Kau pun tersenyum kemudian meminum teh botol yang kusuguhkan.
Setelah itu kita sama-sama mengandung rindu. Tapi seperti jumpa perdana, pertemuan berikutnya susah rasanya. Kau dijerat kesibukan luar biasa. Padahal jarak bukan masalah bagi kita. Kau tidak lagi di Perancis sana. Kau ada di Jakarta. Dengan dua jam saja sebenarnya kita bisa bersua.
“Aku rindu,” smsku hari itu.
“Aku juga sangat rindu padamu,” jawabnya.
“Jadi kapan kita dapat bertemu?” tanyaku menghiba.
“Secepatnya. Jika aku tidak sibuk tentu saja.”
Uh, jadi sangat benci sekali dengan kata itu. Kata itu telah menjadi racun dalam kehidupanku. Sibuk, sibuk dan sibuk.

http://9triliun.com/artikel/13412/contoh-cerpen-singkat.html

Roh Penunggu Hutan

Hari ini rasanya sendi-sendi sel tulangku terasa lepas satu persatu. Ku rebahkan tubuhku mencari sosok indah dalam lamunan, namun yang ada hanya kekosongan dan rasa muak yang tak kunjung reda. Setiap sudut di kamarku semua melihat jijik ke arahku, begitu besar kah salahku sehingga benda mati pun membenciku. Dimana lagi aku harus bersembunyi?, kamar yang selama ini aku anggap sebagai sahabat baikku seakan melihat jijik padaku. Dunia telah membenciku. Kini yang terpikirkan olehku adalah hutan di belakang rumah, hutan yang sangat lebat. Aku berharap hutan ini akan mengubur semua rasa muakku pelindung dunia yang membenciku.
Tubuhku gontai menyusuri tiap jalan sempit dengan daun-daun menggelantung seolah menarik-narik ingin menghentikan langkahku. Terus melangkah, melangkah dengan melangkah aku merasa beban-beban di pundakku mulai berguguran. Aku sibak dedaunan yang rapat tidak akan ada yang mampu menghentikanku. Perjalanan penuh emosi, yang terpikirkan di benaku hanya rasa muak entah berapa jauh kaki ini melangkah hingga ku tersadar tempat ini terasa asing olehku. Hutan dengan pohon-pohon besar, dan akar yang menyeruak dari dalam tanah, pohon besar ini menahan sinar matahari. Beruntung masih ada kicau burung sehingga kesan seram belum nampak meski hutan ini gelap.
Aku berjalan kembali. Tapi sekarang perjalananku tanpa tujuan, aku benar-benar tidak mengenal tempat ini. Aku teringat pesan ayah sewaktu kecil dia tidak mengijinkanku masuk ke dalam hutan sampai melewati batas sungai. Sungai dangkal nan bening batuan di dalamnya terlihat jelas, kira-kira dalamnya seukuran jari kelingking tak perlu bantuan untuk menyeberanginya. Ayah bilang batas hutan milik warga desa dari batas sungai itu sampai ujung desa dan dari batas sungai itu sampai entahlah ujungnya dimana adalah milik roh penunggu hutan jika warga desa melewati batas itu dia akan mendapat petaka. Dan aku baru sadar batas itu telah terlewati bahkan sangat jauh, “Nasib apa yang akan menimpaku?”, bisikku dalam hati.
Dari rasa muak kini menjadi rasa takut yang mencengkram, hal yang sangat bodoh, sebab apa aku sampai di sini. Pertama yang aku lakukan mencari sungai itu tapi dimana aku harus mencarinya sedangkan aku tidak tahu arah, ke kanan kah atau ke kiri kah yang barat mana yang timur mana?, aku benar-benar tidak tahu. Yang terlihat hanya semak belukar yang sama dan tanah yang sama-sama coklat. Aku kehilangan tanda, dan aku telah kehilangan arah. Benarkah kata ayah, apakah petaka yang dimaksud kematian karena tersesat, mati kelaparan, atau dimakan binatang buas. Pikiran-pikiran itu melayang-layang di benakku.
Dua burung yang sedari tadi berkicau hendak pergi, aku mengikutinya berharap burung itu menunjukan jalan keluar minimal memberi keberuntungan untukku. Walau harus bersusah payah menerjang semak belukar aku terus mengikutinya, sesekali aku terjatuh tersendat rumput-rumput panjang. Burung itu semakin jauh nafasku ngos-ngosan suatu kenyataan, burung telah menunjukan kelebihanya dan aku sebagai manusia telah lemah untuk mengikutinya, sekarang aku percaya burung bukanlah makhluk lemah. Burung terbang dengan sayap manusia terbang dengan otak, dunia ini seimbang. Tuhan telah menyeimbangakan semesta ini tidak ada yang sia-sia.
Aku sandarkan tubuhku pada pohon besar, mungkin pohon ini seumuran dengan kakek buyutku waktu yang tidak singkat untuk menjadi besar. Pohon ini menjadi bagian dari jutaan pohon di dunia sebagai pencegah pemanasan global. Apa artinya seribu tanpa satu. Pohon-pohon disini masih sangat rindang tidak seperti di batas sungai di ujung desa. Di batas ujung desa meskipun lebat tapi bekas-bekas penebangan masih terlihat. Mungkin warga desa mempercayai mitos itu sehingga tidak ada yang berani untuk menebangnya di hutan dengan roh penunggu. Kenapa aku jadi memikirkan pohon.
Aku kembali berjalan dan masih tanpa tujuan. Sekarang yang menjadi penunjuk adalah bayangan, aku akan berjalan membelakangi bayanganku berarti aku berjalan ke arah barat. Aku pun belum yakin apakah jalan ini benar tapi menurutku ini lebih baik ketimbang tanpa arah sama sekali.
Semua yang yang terjadi hari ini adalah kesalahanku, kesalahan yang berawal dari ketidak fahamanku tentang filsafat sehingga aku membuat argumen yang sangat memalukan tanpa dasar dan terkesan ngawur. Wibawa yang selama ini aku sandang sebagai orang cerdas seakan runtuh dengan pernyataan bodohku. Selama ini aku tidak pernah sefatal ini membuat kesalahan, tapi dibalik itu semua, aku merasa aku akan jauh lebih bodoh jika tanpa kesalahan. Karena aku akan mencari dalih untuk membuat kebohonganku terkesan menjadi kebenaran. Setiap kaki yang aku ayunkan menjadi penyesalan atas egoku. Betapa sangat egoisnya aku.
Aku mendengar suara gericik air semakin lama semakin jelas, aku berharap gericik air itu adalah sungai perbatasan. Suara itu semakin jelas, suara itu ada di depan. Dan benar ini adalah sungai perbatasan, sungai yang membatasi hutan warga dan hutan roh. Hatiku menjadi sangat plong sedikit lagi aku akan menjadi orang pertama yang mengalahkan mitos. Hanya tinggal sembilan langkah untuk melewatinya, aku mulai mengayunkan kakiku untuk melangkah. Tiba-tiba aku dikagetkan tepukan tangan di pundakku dari arah belakang. Wajahku berubah pucat pasi, tubuhku terasa kaku. Inikah akhir hayatku, dihabisi oleh roh penuggu hutan. Pikiranku sudah tidak jelas. Aku mencoba menengokkan leherku yang kaku ke arahnya, aku melihatnya seperti manusia, tidak ada tanda yang menyeramkan di wajahnya.
“Mau ke mana kamu nak?” orang setengah baya itu berbicara layaknya manusia.
“Em, em, em ma’af anda manusia?” kata-kata konyol dari kegugupanku.
“Jelaslah saya manusia, kalau bukan manusia ngapain saya ngomong sama kamu, mending langsung saja saya makan” dengan wajah kecewa, dia memalingkan badanya berjalan di pinggiran sungai.
“Tunggu pak!” aku berlari menghampirinya.” Bapak ini sebenarnya siapa kok berani melewati batas kutukan roh penunggu hutan?” .
“Kamu mau tau dimana roh itu berada?”
“iya pak, dimana?”
“Roh itu sekarang sedang berbicara sama kamu”
“Apakah bapak yang dimaksud roh itu?”
“Ya. Aku lah roh itu, aku sebagai penunggu hutan ini. Sebenarnya aku sudah tahu kedatanganmu dari tadi, hanya saja aku tidak melihat wajahmu sebagai pengeksplorasi hutan ini sehingga aku membiarkanmu”
“Bapak tahu dari mana?”
“Aku memasang banyak CCTV di hutan ini, sebenarnya aku adalah dosen Ilmu Komunikasi sehingga aku memanfaatkan pengetahuanku untuk melindungi hutan ini semenjak tahun 2001 dimana saat itu sangat marak penebangan secara liar. Mungkin undang-undangnya yang tidak tegas sehingga negara sebagai pelindungi hutan tidak mampu memenuhi kewajibanya. Selain CCTV aku juga memasang Tape Recording dengan remote control jarak jauh. Jika ada orang yang melewati batas ini secara otomatis Tape Recording tersebut akan menakut-nakuti. Semacam suara hantu”
“Wah hati bapak mulia banget, dan luar biasa kreatif. Hanya orang-orang yang tidak berfikir jauh yang merusak hutan. Oh iya pak ngomong-ngomong nama bapak siapa?, dan ngajar di kampus mana?”
“Maaf nak aku tidak bisa, memberitahumu. Mungkin ini adalah pertemuan pertama kita dan yang terakhir nak. Aku berharap banyak padamu nak. Jagalah hutan ini dan jagalah rahasia bapak.”
Bapak itu menaburkan serbuk ke arahku, dan tiba-tiba dalam sekejap dia telah lenyap. Walapum namanya tidak pernah aku kenal namun dia akan tetap menjadi roh, sebagai roh modern, sebagai roh penjaga hutan. Dia tidak akan dikenal sebagai seorang pahlawan. Tapi itulah realitasnya, pahlawan tidak harus dikenal sebagai pahlawan tidak juga seperti Superman.

http://cerpenmu.com/cerpen-inspiratif/roh-penunggu-hutan.html