Kamis, 26 Desember 2013

Roh Penunggu Hutan

Hari ini rasanya sendi-sendi sel tulangku terasa lepas satu persatu. Ku rebahkan tubuhku mencari sosok indah dalam lamunan, namun yang ada hanya kekosongan dan rasa muak yang tak kunjung reda. Setiap sudut di kamarku semua melihat jijik ke arahku, begitu besar kah salahku sehingga benda mati pun membenciku. Dimana lagi aku harus bersembunyi?, kamar yang selama ini aku anggap sebagai sahabat baikku seakan melihat jijik padaku. Dunia telah membenciku. Kini yang terpikirkan olehku adalah hutan di belakang rumah, hutan yang sangat lebat. Aku berharap hutan ini akan mengubur semua rasa muakku pelindung dunia yang membenciku.
Tubuhku gontai menyusuri tiap jalan sempit dengan daun-daun menggelantung seolah menarik-narik ingin menghentikan langkahku. Terus melangkah, melangkah dengan melangkah aku merasa beban-beban di pundakku mulai berguguran. Aku sibak dedaunan yang rapat tidak akan ada yang mampu menghentikanku. Perjalanan penuh emosi, yang terpikirkan di benaku hanya rasa muak entah berapa jauh kaki ini melangkah hingga ku tersadar tempat ini terasa asing olehku. Hutan dengan pohon-pohon besar, dan akar yang menyeruak dari dalam tanah, pohon besar ini menahan sinar matahari. Beruntung masih ada kicau burung sehingga kesan seram belum nampak meski hutan ini gelap.
Aku berjalan kembali. Tapi sekarang perjalananku tanpa tujuan, aku benar-benar tidak mengenal tempat ini. Aku teringat pesan ayah sewaktu kecil dia tidak mengijinkanku masuk ke dalam hutan sampai melewati batas sungai. Sungai dangkal nan bening batuan di dalamnya terlihat jelas, kira-kira dalamnya seukuran jari kelingking tak perlu bantuan untuk menyeberanginya. Ayah bilang batas hutan milik warga desa dari batas sungai itu sampai ujung desa dan dari batas sungai itu sampai entahlah ujungnya dimana adalah milik roh penunggu hutan jika warga desa melewati batas itu dia akan mendapat petaka. Dan aku baru sadar batas itu telah terlewati bahkan sangat jauh, “Nasib apa yang akan menimpaku?”, bisikku dalam hati.
Dari rasa muak kini menjadi rasa takut yang mencengkram, hal yang sangat bodoh, sebab apa aku sampai di sini. Pertama yang aku lakukan mencari sungai itu tapi dimana aku harus mencarinya sedangkan aku tidak tahu arah, ke kanan kah atau ke kiri kah yang barat mana yang timur mana?, aku benar-benar tidak tahu. Yang terlihat hanya semak belukar yang sama dan tanah yang sama-sama coklat. Aku kehilangan tanda, dan aku telah kehilangan arah. Benarkah kata ayah, apakah petaka yang dimaksud kematian karena tersesat, mati kelaparan, atau dimakan binatang buas. Pikiran-pikiran itu melayang-layang di benakku.
Dua burung yang sedari tadi berkicau hendak pergi, aku mengikutinya berharap burung itu menunjukan jalan keluar minimal memberi keberuntungan untukku. Walau harus bersusah payah menerjang semak belukar aku terus mengikutinya, sesekali aku terjatuh tersendat rumput-rumput panjang. Burung itu semakin jauh nafasku ngos-ngosan suatu kenyataan, burung telah menunjukan kelebihanya dan aku sebagai manusia telah lemah untuk mengikutinya, sekarang aku percaya burung bukanlah makhluk lemah. Burung terbang dengan sayap manusia terbang dengan otak, dunia ini seimbang. Tuhan telah menyeimbangakan semesta ini tidak ada yang sia-sia.
Aku sandarkan tubuhku pada pohon besar, mungkin pohon ini seumuran dengan kakek buyutku waktu yang tidak singkat untuk menjadi besar. Pohon ini menjadi bagian dari jutaan pohon di dunia sebagai pencegah pemanasan global. Apa artinya seribu tanpa satu. Pohon-pohon disini masih sangat rindang tidak seperti di batas sungai di ujung desa. Di batas ujung desa meskipun lebat tapi bekas-bekas penebangan masih terlihat. Mungkin warga desa mempercayai mitos itu sehingga tidak ada yang berani untuk menebangnya di hutan dengan roh penunggu. Kenapa aku jadi memikirkan pohon.
Aku kembali berjalan dan masih tanpa tujuan. Sekarang yang menjadi penunjuk adalah bayangan, aku akan berjalan membelakangi bayanganku berarti aku berjalan ke arah barat. Aku pun belum yakin apakah jalan ini benar tapi menurutku ini lebih baik ketimbang tanpa arah sama sekali.
Semua yang yang terjadi hari ini adalah kesalahanku, kesalahan yang berawal dari ketidak fahamanku tentang filsafat sehingga aku membuat argumen yang sangat memalukan tanpa dasar dan terkesan ngawur. Wibawa yang selama ini aku sandang sebagai orang cerdas seakan runtuh dengan pernyataan bodohku. Selama ini aku tidak pernah sefatal ini membuat kesalahan, tapi dibalik itu semua, aku merasa aku akan jauh lebih bodoh jika tanpa kesalahan. Karena aku akan mencari dalih untuk membuat kebohonganku terkesan menjadi kebenaran. Setiap kaki yang aku ayunkan menjadi penyesalan atas egoku. Betapa sangat egoisnya aku.
Aku mendengar suara gericik air semakin lama semakin jelas, aku berharap gericik air itu adalah sungai perbatasan. Suara itu semakin jelas, suara itu ada di depan. Dan benar ini adalah sungai perbatasan, sungai yang membatasi hutan warga dan hutan roh. Hatiku menjadi sangat plong sedikit lagi aku akan menjadi orang pertama yang mengalahkan mitos. Hanya tinggal sembilan langkah untuk melewatinya, aku mulai mengayunkan kakiku untuk melangkah. Tiba-tiba aku dikagetkan tepukan tangan di pundakku dari arah belakang. Wajahku berubah pucat pasi, tubuhku terasa kaku. Inikah akhir hayatku, dihabisi oleh roh penuggu hutan. Pikiranku sudah tidak jelas. Aku mencoba menengokkan leherku yang kaku ke arahnya, aku melihatnya seperti manusia, tidak ada tanda yang menyeramkan di wajahnya.
“Mau ke mana kamu nak?” orang setengah baya itu berbicara layaknya manusia.
“Em, em, em ma’af anda manusia?” kata-kata konyol dari kegugupanku.
“Jelaslah saya manusia, kalau bukan manusia ngapain saya ngomong sama kamu, mending langsung saja saya makan” dengan wajah kecewa, dia memalingkan badanya berjalan di pinggiran sungai.
“Tunggu pak!” aku berlari menghampirinya.” Bapak ini sebenarnya siapa kok berani melewati batas kutukan roh penunggu hutan?” .
“Kamu mau tau dimana roh itu berada?”
“iya pak, dimana?”
“Roh itu sekarang sedang berbicara sama kamu”
“Apakah bapak yang dimaksud roh itu?”
“Ya. Aku lah roh itu, aku sebagai penunggu hutan ini. Sebenarnya aku sudah tahu kedatanganmu dari tadi, hanya saja aku tidak melihat wajahmu sebagai pengeksplorasi hutan ini sehingga aku membiarkanmu”
“Bapak tahu dari mana?”
“Aku memasang banyak CCTV di hutan ini, sebenarnya aku adalah dosen Ilmu Komunikasi sehingga aku memanfaatkan pengetahuanku untuk melindungi hutan ini semenjak tahun 2001 dimana saat itu sangat marak penebangan secara liar. Mungkin undang-undangnya yang tidak tegas sehingga negara sebagai pelindungi hutan tidak mampu memenuhi kewajibanya. Selain CCTV aku juga memasang Tape Recording dengan remote control jarak jauh. Jika ada orang yang melewati batas ini secara otomatis Tape Recording tersebut akan menakut-nakuti. Semacam suara hantu”
“Wah hati bapak mulia banget, dan luar biasa kreatif. Hanya orang-orang yang tidak berfikir jauh yang merusak hutan. Oh iya pak ngomong-ngomong nama bapak siapa?, dan ngajar di kampus mana?”
“Maaf nak aku tidak bisa, memberitahumu. Mungkin ini adalah pertemuan pertama kita dan yang terakhir nak. Aku berharap banyak padamu nak. Jagalah hutan ini dan jagalah rahasia bapak.”
Bapak itu menaburkan serbuk ke arahku, dan tiba-tiba dalam sekejap dia telah lenyap. Walapum namanya tidak pernah aku kenal namun dia akan tetap menjadi roh, sebagai roh modern, sebagai roh penjaga hutan. Dia tidak akan dikenal sebagai seorang pahlawan. Tapi itulah realitasnya, pahlawan tidak harus dikenal sebagai pahlawan tidak juga seperti Superman.

http://cerpenmu.com/cerpen-inspiratif/roh-penunggu-hutan.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar