Hari ini rasanya sendi-sendi sel tulangku terasa lepas satu persatu.
Ku rebahkan tubuhku mencari sosok indah dalam lamunan, namun yang ada
hanya kekosongan dan rasa muak yang tak kunjung reda. Setiap sudut di
kamarku semua melihat jijik ke arahku, begitu besar kah salahku sehingga
benda mati pun membenciku. Dimana lagi aku harus bersembunyi?, kamar
yang selama ini aku anggap sebagai sahabat baikku seakan melihat jijik
padaku. Dunia telah membenciku. Kini yang terpikirkan olehku adalah
hutan di belakang rumah, hutan yang sangat lebat. Aku berharap hutan ini
akan mengubur semua rasa muakku pelindung dunia yang membenciku.
Tubuhku gontai menyusuri tiap jalan sempit dengan daun-daun
menggelantung seolah menarik-narik ingin menghentikan langkahku. Terus
melangkah, melangkah dengan melangkah aku merasa beban-beban di pundakku
mulai berguguran. Aku sibak dedaunan yang rapat tidak akan ada yang
mampu menghentikanku. Perjalanan penuh emosi, yang terpikirkan di benaku
hanya rasa muak entah berapa jauh kaki ini melangkah hingga ku tersadar
tempat ini terasa asing olehku. Hutan dengan pohon-pohon besar, dan
akar yang menyeruak dari dalam tanah, pohon besar ini menahan sinar
matahari. Beruntung masih ada kicau burung sehingga kesan seram belum
nampak meski hutan ini gelap.
Aku berjalan kembali. Tapi sekarang perjalananku tanpa tujuan, aku
benar-benar tidak mengenal tempat ini. Aku teringat pesan ayah sewaktu
kecil dia tidak mengijinkanku masuk ke dalam hutan sampai melewati batas
sungai. Sungai dangkal nan bening batuan di dalamnya terlihat jelas,
kira-kira dalamnya seukuran jari kelingking tak perlu bantuan untuk
menyeberanginya. Ayah bilang batas hutan milik warga desa dari batas
sungai itu sampai ujung desa dan dari batas sungai itu sampai entahlah
ujungnya dimana adalah milik roh penunggu hutan jika warga desa melewati
batas itu dia akan mendapat petaka. Dan aku baru sadar batas itu telah
terlewati bahkan sangat jauh, “Nasib apa yang akan menimpaku?”, bisikku
dalam hati.
Dari rasa muak kini menjadi rasa takut yang mencengkram, hal yang
sangat bodoh, sebab apa aku sampai di sini. Pertama yang aku lakukan
mencari sungai itu tapi dimana aku harus mencarinya sedangkan aku tidak
tahu arah, ke kanan kah atau ke kiri kah yang barat mana yang timur
mana?, aku benar-benar tidak tahu. Yang terlihat hanya semak belukar
yang sama dan tanah yang sama-sama coklat. Aku kehilangan tanda, dan aku
telah kehilangan arah. Benarkah kata ayah, apakah petaka yang dimaksud
kematian karena tersesat, mati kelaparan, atau dimakan binatang buas.
Pikiran-pikiran itu melayang-layang di benakku.
Dua burung yang sedari tadi berkicau hendak pergi, aku mengikutinya
berharap burung itu menunjukan jalan keluar minimal memberi
keberuntungan untukku. Walau harus bersusah payah menerjang semak
belukar aku terus mengikutinya, sesekali aku terjatuh tersendat
rumput-rumput panjang. Burung itu semakin jauh nafasku ngos-ngosan suatu
kenyataan, burung telah menunjukan kelebihanya dan aku sebagai manusia
telah lemah untuk mengikutinya, sekarang aku percaya burung bukanlah
makhluk lemah. Burung terbang dengan sayap manusia terbang dengan otak,
dunia ini seimbang. Tuhan telah menyeimbangakan semesta ini tidak ada
yang sia-sia.
Aku sandarkan tubuhku pada pohon besar, mungkin pohon ini seumuran
dengan kakek buyutku waktu yang tidak singkat untuk menjadi besar. Pohon
ini menjadi bagian dari jutaan pohon di dunia sebagai pencegah
pemanasan global. Apa artinya seribu tanpa satu. Pohon-pohon disini
masih sangat rindang tidak seperti di batas sungai di ujung desa. Di
batas ujung desa meskipun lebat tapi bekas-bekas penebangan masih
terlihat. Mungkin warga desa mempercayai mitos itu sehingga tidak ada
yang berani untuk menebangnya di hutan dengan roh penunggu. Kenapa aku
jadi memikirkan pohon.
Aku kembali berjalan dan masih tanpa tujuan. Sekarang yang menjadi
penunjuk adalah bayangan, aku akan berjalan membelakangi bayanganku
berarti aku berjalan ke arah barat. Aku pun belum yakin apakah jalan ini
benar tapi menurutku ini lebih baik ketimbang tanpa arah sama sekali.
Semua yang yang terjadi hari ini adalah kesalahanku, kesalahan yang
berawal dari ketidak fahamanku tentang filsafat sehingga aku membuat
argumen yang sangat memalukan tanpa dasar dan terkesan ngawur. Wibawa
yang selama ini aku sandang sebagai orang cerdas seakan runtuh dengan
pernyataan bodohku. Selama ini aku tidak pernah sefatal ini membuat
kesalahan, tapi dibalik itu semua, aku merasa aku akan jauh lebih bodoh
jika tanpa kesalahan. Karena aku akan mencari dalih untuk membuat
kebohonganku terkesan menjadi kebenaran. Setiap kaki yang aku ayunkan
menjadi penyesalan atas egoku. Betapa sangat egoisnya aku.
Aku mendengar suara gericik air semakin lama semakin jelas, aku
berharap gericik air itu adalah sungai perbatasan. Suara itu semakin
jelas, suara itu ada di depan. Dan benar ini adalah sungai perbatasan,
sungai yang membatasi hutan warga dan hutan roh. Hatiku menjadi sangat
plong sedikit lagi aku akan menjadi orang pertama yang mengalahkan
mitos. Hanya tinggal sembilan langkah untuk melewatinya, aku mulai
mengayunkan kakiku untuk melangkah. Tiba-tiba aku dikagetkan tepukan
tangan di pundakku dari arah belakang. Wajahku berubah pucat pasi,
tubuhku terasa kaku. Inikah akhir hayatku, dihabisi oleh roh penuggu
hutan. Pikiranku sudah tidak jelas. Aku mencoba menengokkan leherku yang
kaku ke arahnya, aku melihatnya seperti manusia, tidak ada tanda yang
menyeramkan di wajahnya.
“Mau ke mana kamu nak?” orang setengah baya itu berbicara layaknya manusia.
“Em, em, em ma’af anda manusia?” kata-kata konyol dari kegugupanku.
“Jelaslah saya manusia, kalau bukan manusia ngapain saya ngomong sama
kamu, mending langsung saja saya makan” dengan wajah kecewa, dia
memalingkan badanya berjalan di pinggiran sungai.
“Tunggu pak!” aku berlari menghampirinya.” Bapak ini sebenarnya siapa kok berani melewati batas kutukan roh penunggu hutan?” .
“Kamu mau tau dimana roh itu berada?”
“iya pak, dimana?”
“Roh itu sekarang sedang berbicara sama kamu”
“Apakah bapak yang dimaksud roh itu?”
“Ya. Aku lah roh itu, aku sebagai penunggu hutan ini. Sebenarnya aku
sudah tahu kedatanganmu dari tadi, hanya saja aku tidak melihat wajahmu
sebagai pengeksplorasi hutan ini sehingga aku membiarkanmu”
“Bapak tahu dari mana?”
“Aku memasang banyak CCTV di hutan ini, sebenarnya aku adalah dosen Ilmu
Komunikasi sehingga aku memanfaatkan pengetahuanku untuk melindungi
hutan ini semenjak tahun 2001 dimana saat itu sangat marak penebangan
secara liar. Mungkin undang-undangnya yang tidak tegas sehingga negara
sebagai pelindungi hutan tidak mampu memenuhi kewajibanya. Selain CCTV
aku juga memasang Tape Recording dengan remote control jarak jauh. Jika
ada orang yang melewati batas ini secara otomatis Tape Recording
tersebut akan menakut-nakuti. Semacam suara hantu”
“Wah hati bapak mulia banget, dan luar biasa kreatif. Hanya orang-orang
yang tidak berfikir jauh yang merusak hutan. Oh iya pak ngomong-ngomong
nama bapak siapa?, dan ngajar di kampus mana?”
“Maaf nak aku tidak bisa, memberitahumu. Mungkin ini adalah pertemuan
pertama kita dan yang terakhir nak. Aku berharap banyak padamu nak.
Jagalah hutan ini dan jagalah rahasia bapak.”
Bapak itu menaburkan serbuk ke arahku, dan tiba-tiba dalam sekejap
dia telah lenyap. Walapum namanya tidak pernah aku kenal namun dia akan
tetap menjadi roh, sebagai roh modern, sebagai roh penjaga hutan. Dia
tidak akan dikenal sebagai seorang pahlawan. Tapi itulah realitasnya,
pahlawan tidak harus dikenal sebagai pahlawan tidak juga seperti
Superman.
http://cerpenmu.com/cerpen-inspiratif/roh-penunggu-hutan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar